Bissu: Budaya Lama Bugis Yang Sekarang Bisu


Bissu: Budaya Lama Bugis Yang Sekarang Bisu 

Aparat polisi dan pemerintah membubarkan pentas seni dan budaya yang melibatkan tokoh spiritual Bissu karena dituding mengandung unsur LGBT.


Sebuah pagelaran kecil untuk memperingati Hari Kemerdekaan di Sulawesi Selatan dibubarkan oleh aparat kepolisian setempat karena melibatkan tokoh spiritual Bugis, Bissu. Kelibatan tokoh ini menyebabkan pentas tersebut dituding menampilkan unsur LGBT. Salah satu anggota komunitas seni Lasaliyu Batara Bone, yang menyelenggarakan pagelaran tersebut, berkata bahwa saat pembubaran terjadi, pihak otoritas mengatakan “Bissu dilarang tampil di sini, Bissu adalah bagian waria, dan waria adalah LGBT.” (Art Calls Indonesia, 2023).

Bissu adalah salah satu dari lima kategori gender yang diakui suku Bugis: makkunrai (perempuan), oroani (laki-laki), calalai (lahir dengan tubuh perempuan, namun berciri maskulin), calabai (lahir dengan tubuh laki-laki, namun berciri feminim), dan Bissu (tidak laki-laki ataupun perempuan). Bissu dianggap sebagai tokoh spiritual Bugis yang posisinya sangat dihormati, bahkan dari jaman kerajaan di Indonesia. Mereka percaya bahwa tuhan bukanlah laki-laki ataupun perempuan, dan Bissu, “jembatan” antara manusia dengan tuhan, juga sama.

Pembubaran acara yang melibatkan tokoh Bissu ini juga bukan yang pertama kalinya. Pada tahun 2022, komunitas Bissu Bone tidak diikutsertakan dalam perayaan Hari Jadi Bone, dan menghilangkan peran Bissu dalam proses pembersihan benda-benda pusaka warisan Kerajaan Bone, Mattompang Arajang. Sudah sejak lama, Bissu menjadi target kekerasan dan intimidasi karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. 

Penghapusan kelompok Bissu ini menimbulkan pertanyaan- benarkah membisukan budaya lama Indonesia, hanya karena pandangan mereka berbeda dengan pandangan kelompok baru yang datang? Pada proses Islamisasi Bugis, tidakkah mereka yang seharusnya menghormati budaya asli sana? Dimana kaki berpijak, disana langit dijunjung, bukan?

Tapi nyatanya bagi sebagian orang, termasuk pemerintah daerah mereka sendiri, Bissu tidaklah lebih dari kelompok waria yang hanya ingin menyebarluaskan LGBT. Padahal jauh sebelum agama apapun datang ke Sulawesi Selatan, suku Bugis sudah memiliki pandangan ini: Bissu dianggap mewakili kekuatan semua gender. Tapi masyarakat Indonesia cenderung tidak mentoleransi hal-hal diluar norma mereka- dan Bissu sudah pasti “melenceng” di mata mereka. Di sistem gender biner Indonesia, seseorang yang laki-laki dan perempuan disaat yang bersamaan dipaksa memilih. Bissu dipaksa mengikuti “normal” mereka, meskipun mereka sudah “normal” menurut pandangan mereka.

Berkat pandangan masyarakat Indonesia inilah, jumlah tokoh Bissu di Sulawesi Selatan semakin sedikit. Gubernur Sulawesi Selatan sendiri mencekal kelompok Bissu- salahkan sekelompok seniman yang ingin melestarikan budaya mereka sendiri? Saat peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia pula. Bukannya menjunjung tinggi toleransi, semangat sedarah senasib yang dahulu membawa Indonesia ke kemerdekaan, salah satu budaya leluhur malah dibisukan, dianggap salah. Seniman muda Indonesia secara begitu saja dirampas dari hak berbudaya mereka. 

Masyarakat Indonesia harusnya mendukung seniman muda mereka, anak-anak yang akan meneruskan bangsa, terus melestarikan budaya Indonesia agar tidak punah. Bangun toleransi tinggi- terutama dengan budaya sendiri. Hanya karena suatu pandangan tidak sesuai dengan pandangan kelompok mayoritas, tidak perlu pemegang budaya leluhur dipunahkan.

Pementasan yang ditujukan untuk merefleksi dan mengingat kembali sejarah kerajaan Bone tidak perlu dihentikan hanya karena unsur “melenceng”. Lagi pula, komunitas seni yang menyelenggarakan telah mengatakan bahwa mereka hanya menampilkan peran Bissu, bukan individu Bissu- apalagi menyebarkan ajaran LGBT (Detik Sulsel, 2023). Indonesia perlu lebih meningkatkan pengetahuan dan rasa toleransi mereka terhadap budaya sendiri, agar tidak terjadi lagi peristiwa Bissu bugis terbisukan. (KIR)


Foto oleh Agung Pramono untuk Detik Sulsel


Nama: Krisna Kirana Kepakisan

Kelas: XII MIPA 3

No. Absen: 01


Comments

Popular posts from this blog

Tumbuhan Penantang Kutub: Ketika Kehidupan Berkembang di Antartika

Melindungi Satwa Liar

Penipuan Binomo Indra Kenz Mencapai 57 Miliar Rupiah