Calon Sarjana Jauhi Arwana
Calon Sarjana Jauhi Arwana
Untuk mendapat gelar sarjana, mahasiswa haruslah memenuhi syarat kelulusan berupa skripsi. Mendengar kata skripsi, seolah menjadi hal paling menakutkan bagi para calon sarjana dewasa ini. Banyak mahasiswa terkurung di kampus sebagai “mahasiswa abadi” karena kendala pembuatan skripsi. Berbagai persoalan lain juga mengaitkan skripsi sebagai tokoh antagonis dalam kehidupan perkuliahan.
Bulan Agustus lalu pada diskusi Merdeka Belajar, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim membuat kebijakan baru tentang penghapusan skripsi sebagai syarat kelulusan. Hal ini pun menuai pro dan kontra dari masyarakat. Bagaimana tidak? skripsi mulai menghambat kelulusan mahasiswa dan pada akhirnya tumpukan kertas-kertas tersebut menjadi pajangan semata.
Tidak bermaksud ingin menghilangkan skripsi dari kancah pendidikan, namun peraturan baru yang dibuat ini menyatakan bahwa tugas akhir tidak harus skripsi. Perguruan tinggi dibebaskan untuk menentukan syarat kelulusannya masing-masing. Jika nantinya perguruan tinggi dapat mengadopsi metode dan inovasi belajar menjadi lebih baik dan sesuai dengan minat bakat mahasiswanya, maka ini akan menjadi peluang serta hal positif untuk keberlangsungan pendidikan mahasiswa.
Benarkah hal ini ditunggu-tunggu oleh para mahasiswa calon sarjana? Kebijakan baru ini disambut dengan sangat baik di kalangan mahasiswa. Kaget dan senang adalah hal yang sedang dirasakan oleh para mahasiswa saat ini. Mahasiswa lebih tertarik mengerjakan tugas akhir berupa proyek yang sifatnya aplikatif dibandingkan menyusun skripsi yang hanya terfokus pada data-data. Realistisnya saat mulai memasuki dunia kerja, skripsi bukanlah tolak ukur perusahaan dalam mempertimbangkan kemampuan calon pekerjanya.
Pandangan lain menilai penghapusan skripsi bukanlah titik terang bagi kualitas pendidikan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena pandangan beberapa pihak bahwa mahasiswa yang akan menjadi lulusan sarjana harus memiliki keterampilan menyusun sebuah karya ilmiah dan statistika. Secara tidak langsung melalui runtunan tahapan penyusunan skripsi akan dapat melatih mental dan pola berpikir kritis. Lulusan sarjana juga harus berkompetensi tinggi agar skill tersebut dapat digunakan dan dibagikan kepada masyarakat luas.
Redaksi menduga bahwa kebijakan penghapusan skripsi adalah hal yang baik sebagai bentuk kemerdekaan bagi para mahasiswa calon sarjana. Calon sarjana akan merasa lebih ekspresif jika skripsi tidak lagi menjabat sebagai patokan kelulusan. Hal ini akan memberikan kebebasan individu dalam mengembangkan bakat dan minatnya dalam ranah yang lebih luas.
Tak dapat dipungkiri, sudah banyak perguruan tinggi yang menerapkan kebijakan penggantian skripsi dengan syarat kelulusan lainnya. Pemerintah seharusnya lebih menggiatkan lagi hal ini guna kesejahteraan mahasiswa dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Diharapkan dengan adanya kebijakan yang berbasis modern ini, dapat lebih meningkatkan angka kelulusan sarjana yang unggul dan berwawasan luas.
Seiring berjalannya waktu, skripsi akan digantikan oleh tugas akhir lainnya. Walaupun syarat kelulusan yang beragam, namun harus tetap memenuhi standar kualitas yang sudah ditetapkan. Oleh karena itu, Kemendisbudristek disarankan untuk dapat melakukan pengawasan ketat terhadap kelangsungan kebijakan ini guna menghindari hal-hal rumpang yang tidak diinginkan.
Nama: Ni Luh Putu Swandewi Antasari
Kelas: XII MIPA 3
No. Absen: 24

Comments
Post a Comment